Friday, April 16, 2010

Trauma Abdomen

 


A. PATOFISIOLOGIS DAN ETIOLOGI
Bentuk trauma yang mengenai abdomen dapat disebut sebagai trauma tumpul atau tembus yang merupakan trauma kecelakaan atau disengaja, yang menyebabkan cedera internal. Kebanyakan trauma abdomen tumpul disebabkan oleh kecelakaan mengendarai mobil atau kecelakaan pejalan kaki, sedangkan kebanyakan trauma tembus disebabkan oleh luka tembak atau tikam
Trauma adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa dibawah usia 40 tahun dan penyebab kematian kelima pada semua orang dewasa. Meskipun tidak semua kasus trauma ini adalah trauma abdomen, trauma abdomen umum terjadi karena kecelakaan kendaraan bermotor. Satu metode pencegahan adalah menggunakan sabuk pengaman, yang dapat menurunkan trauma abdomen pada kasus kecelakaan.
Trauma tumpul pada abdomen dapat menyebabkan robekan, hancur atau kekuatan tekanan yang menyebabkan rupture usus, yang menyebabkan peritonitis dan sepsis. Luka tikam menimbulkan sedikit trauma pada struktur internal abdomen yang menyebabkan organ abdomen mempunyai waktu lebih banyak untuk bergeser dari alat yang menembus.
Tipe Cedera :
Berdasarkan organ yang terkena dapat dibagi du yaitu :
1. pada organ padat, seperti hepar, limpa dengan gejala utama perdarahan
2. pada organ berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis.

Trauma abdomen dapat dibagi menjadi trauma tumpul abdomen dan trauma tembus/tajam abdomen.

1. Trauma Tumpul Abdomen
Mekanisme terjadinya trauma tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (noncompliant organ) seperti hati, limpa, pancreas dan ginjal.
Dalam suatu kecelakaan lalulintas penting mengamati arah trauma, keadaan mobil, tempat duduk penumpang, dan cara sabuk pengaman digunakan. Fakta-fakta ini akan menolong pemerikasa mencari organ yang mungkin rusak. Bila sabuk pengaman dipakai longgar dan jauh diatas pelvis, maka besar kemungkinan cedera intraperitoneal yang serius. Bila epigastrium pengemudi terpukul oleh gagang kemudi, maka dapat terjadi ruptura retroperitoneal atau duodenum atau pankreatitis traumatika.
Pada korban pejalan kaki, maka urutan perangkat frekuensi cedera intraabdomen adalah hati, limpa, usus halus, dan usus besar. Lebih dari 50% kecelakaan disertai dengan trauma kapitis.
Pada penyiksaan anak dan korban pemukulan, maka insiden cedera intraabdominal tinggi. Dua perlukaan yang sering pada kasus ini adalah ruptura duodenum dan robekan mesenterium usus halus.
Bila terjatuh lazim terjadi cedera hati dan limpa, robekan usus halur ditempat perlekatan mesenterium dan robekan mesenterium usus halus.
Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok dan nyeri lepas dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula ditentukan dengan shifting dulness, sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui dengan hilang atau beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya melemah atau menghilang. Rangsangan peritonium dapat pula berupa nyeri alih di daerah bahu terutama di daerah kiri.
Pada luka tembak atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tanda-tanda peritonitis karena ini merupakan indikasi untuk segera dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun pada trauma tumpul sering kali diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan.
Pemeriksaan Penunjnag
Berbeda dengan trauma tajam, pada keadaan ini kita sering dihadapkan pada diagnosis yang meragukan, sehingga memerlukan pemerikasaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis perdarahan intraabdomen akibat trauma tumpul lebih sulit dibandingakan dengan akibat trauma tajam, lebih-lebih pada tahap pemulaan. Untuk membantu menemukan apakah ada perdarahan dapat dibantu dengan metode Van Lany dengan membandingkan leukosit/mm dengan eritrosit/mm setiap setengah jam. Bila leukosit terus meningkat sedangkan eritrosit menurun tanpa ada tanda-tanda radang, ini memberikan petunjuk adanya perdarahan.
Pemeriksaan laboratorium yang menunjang adalah kadar hemoglobin, hematokrit, lekosit dan analisis urin. Tetapi yang terpenting adalah monitoring gejala klinis oleh seorang dokter dengan seksama. Bila terjadi perdarahan akan terjadi penurunan hemoglobin dan hematokrit dan bisa disertai lekositisis. Bila diragukan harus dilakukan pemeriksaan serial. Sedangkan adanya eritrosit di dalam urin menunjang terjadinya trauma saluran kencing. Kadar serum amilase 100 unit dalam 100 ml cairan abdomen menunjang bahwa telah terjadi trauma pankreas.
Pemeriksaan radiologis yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen tiga posisi. Yang perlu diperhatikan adalah adalah tulang vertebra dan pelvis, benda asing, bayangan otot psoas, dan udara bebas intra atau retroperitoneal. Sedangkan IVP atau sistogram hanya dilakukan bila dicurigai adanya trauma pada saluran kencing. Selain itu juga dapat dilakukan CT Scan untuk membantu menegakkan diagnosis pada trauma tumpul. Tindakan lain yang efektif tetapi invasif adalah lavase peritoneal diagnostik untuk mengetahui adanya cairan intraabdomen dan jenisnya.

Penatalaksanaan
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dulu ABC bila pasien telah stabil baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri , pipa lambung selain untuk diagnostik, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kemih dan menilai urine.
Pada trauma tumpul, bila terdapat tanda kerusakan intra peritoneum harus dilakukan laparotomi, sedangkan bila tidak pasien diobservasi selama 24-48 jam.
Tindakan laparotomi dilakukan untuk mengetahui organ yang mengalami kerusakan. Bila terdapat perdarahan, tindakan yang dilakukan adalah penghentian pendarahan. Sedangkan pada organ berongga, penanganan kerusakan berkisar dari penutupan sederhana sampai resekresi sebagian.

Penatalaksanaan Awal
Syok karena perdarahan kontinu menjadi sebab kematian terbesar pada trauma abdomen. Larutan ringer laktat (1000ml/jam) harus segera mulai diberikan ditempat kecelakaan, bila terdapat syok atau bila diperkirakan ada perdarahan intraabdominal.
Pakaian anti-syok merupakan alat penting disamping alat lapangan. Bila ada perdarahan intraabdominal masif akut dan syok, maka penggunaan pakaian ini dapat dapat menyelamatkan nyawa. Penting diingat bahwa bila pakaian dilepaskan sebelum penderita sampai dikamar bedah maka diperlukan sekitar 2000ml cairan untuk mendapatkan tekanan darah yang sama seperti sebelum perdarahan.

Diagnosis
Tanda dan gejala cedera serius sering meragukan, tak ada atau lambat timbulnya. Nyeri abdomenlah yang sering timbul tetapi defans muskular mungkin sering tak ada, bahkan tekanan darah pada perdarahan hebat dapat normal. Frekuensi denyut nadi dan bising usus bukan tanda yang dapat diandalkan. Pemeriksaan dinding abdomen terhadap adanya abrasi, kontusi dan bekas ban dapat memberikan sejumlah banturan untuk menimbulkan kecurigaan akan organ yang mungkin terkena.
Karena trauma kapitis sering disertai dengan trauma abdomen bersama efek keracunan atau penyalahgunaan obat, maka tanda-tanda neurologik mungkin tak ada atau tak bisa dipercaya.
Bila diduga pankreatitis traumatika, maka penentuan kadar amilase serum dapat membantu mengonfirmasi diagnosis dan harus dilakukan dibagian gawat darurat sebagai bagian pemeriksaan diagnostik pada penderita cedera abdomen.
Urinalisis akan membantu diagnosis cedera kandung kemih dan ginjal. Bila penderita trauma abdomen tak dapat berkemih setelah tiba di bagian gawat darurat, maka harus dipasang kateter kedalam kandung kemih, bahan contoh urina diambil untuk eveluasi dan kateter dibiarkan terpasang hingga kebutuhan akan pemeriksaan diagnostik atau terapi telah diputuskan.
Pemeriksaan radiologik biasanya diindikasikan pada penderita trauma abdomen. Pemeriksan demikian seharusnya meliputi foto toraks, foto abdomen AP dan lateral, sistogram dan pielogram bila diindikasikan.


2. Trauma Tembus/Tajam Abdomen
Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada luka tembus abdomen, sebab usus mengisi sebagian besar rongga abdomen.

Manifestasi Klinis
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai sepsis mengenai organ yang berongga intra peritoneal. Rangsangan peritoneal yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feces. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feces paling lambat.
Bila perioperasi terjadi di bagian atas, misalnya didaerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat. Sedangkan bila terjadi di bagian bawah, seperti kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Pada trauma tembus, usahakan untuk memperoleh keterangan selengkap mungkin. Mengenai senjata yang dipakai, arah tusukan, atau pada trauma tumpul harus diketahui bagaimana terjadi kecelakaan. Namun kadanga terjadi kesulitan bila pasien dalam keadaan syok atau tidak sadar.
Setelah pasien stabil yaitu: airway, breathing, dan circulation stabil baru kita lakukan pemeriksaan fisik. Ingat! Syok dan penurunan kesadaran dapat menimbulkan kesulitan dalam pemeriksaan abdomen karena akan menghilangkan gejala perut. Jejas didinding perut menunjang terjadinya trauma abdomen.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan colok dubur untuk mengetahi adanya cedera anorektal atau uletra, pemasangan kateter untuk mengetahui adanya darah pada saluran kemih, dan monitoring produksi urine. Pemasangan kateter dilakukan setelah dipastikan tidak terdapat cedera uletra dengan colok dubur, dan pemasangan NGT untuk mengetahui adanya perdarahan saluran cerna atas dan dekompresi lambung.

Penatalaksanaan
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dulu ABC bila pasien telah stabil baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri , pipa lambung selain untuk diagnostik, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kemih dan menilai urine.
Peningkatan nyeri didaerah abdomen membutuhkan eksplorasi bedah. Luka tembus dapat mengakibatkan renjatan berat bila mengenai pembulu darah besar atau hepar. Penetrasi ke limpa, pankreas atau ginjal biasanya tidak mengakibatkan perdarahan masif kecuali bila ada pembulu darah besar yang terkena. Perdarahan tersebut harus diatasi segera, sedangkan pasien yang tidak tertolong dengan resusitasi cairan harus menjalani pembedahan segera.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagain bawah atau abdomen berbeda-beda. Namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus mengalami eksplorsi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil.
Semua luka tusuk didada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum maka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapatnya darah dalam lambung, buli-buli dan rektum, adanya udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24 sampai 48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar melakukan laparotomi.
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine)
2. Pemeriksaan serial
3. Foto abdomen
4. IVP atau sistrogram
5. CT scan
6. Lavase peritoneal diagnostic
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG TIMBUL
1. kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan aktif sekunder akibat perdarahan atau hemoragi.
2. nyeri yang berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh darah intraperitonial atau sekresi, trauma aktual atau insisi bedah, dan manipulasi organ selama pembedahan.
3. resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer sekunder akibat gangguan saluran GI (terutama ileum terminal dan kolon) dan luka terbuka traumatik terinfeksi; berhubungan dengan kateter indwelling multipel dan selang lain; dan berhubungan dengan gangguan status imun karena kehilangan darah dan respons metabolik terhadap trauma.
4. ketidak efektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan nyeri dari cedera atau insisi bedah ; iritasi kimia dari darah atau empedu pada jaringan pleural; dan peningkatan diafragmatik berkenaan dengan distensi abdomen.
5. perubahan perfusi jaringan gastrointestinal (GI) yang berhubungan dengan terhentinya aliran darah pada vicera abdomen sekunder akibat gangguan atau okulasi vaskular, atau ynag berhubungan dengan hipovolemia sedang sampai berat yang disebabkan oleh hemoragi.
6. resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan pemajanan terhadap drainase GI yang mengiritasi; dan kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan trauma langsung dan pembedahan, status pasca trauma katabolik dan perubahan sirkulasi.
7. perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan penurunan masukan sekunder akibat gangguan integritas saluran GI (traumatik atau pembedahan) dan peningkatan kebutuhan sekunder akibat status pasca trauma hipermetabolik
8. respon pasca trauma yang berhubungan dengan kecelakaan ynag mengancam hidup atau peristiwa yang mengakibatkan trauma

D. RENCANA KEPERAWATAN
1. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan aktif sekunder akibat perdarahan atau hemoragi.
 Hasil Yang Diharapkan
Dalam 4 jam penerimaan atau pada pemulihan definitif (mis. Pembedahan), pasien norvolemik, dibuktikan dengan TD sistolik =90 mmHg; FJ 60-100 dpm; CVP 2-6 mmHg; haluaran urine =30 ml/jam; ekstremitas hangat; pengisian kapiler cepat (<2dtk); nadi distal >2+ pada skala0-4+; dan tidak ada ortostasis.
 Intervensi Keperawatan
1) Pasien baru cedera: pantau TD setiap jam. Waspada terhadap peningkatan TD diastolik dan penurunan TD sistolik. Penurunan tiba-tiba pada TD sistolik, bahkan bila minimal, memerlukan konsultasi dengan dokter, khususnya untuk pasien trauma bila luas cedera tidak diketahui. Kebanyakan pasien trauma adalah muda, dan kompensasi neurovaskular besar.
Pasien pasca operasi stabil : lakukan pengkajian TV rutin
2) Waspadai dan laporkan indikator-indikator klinis dari kekurangan volume cairan.
3) Pantau FJ dan status kardiovaskuler setiap jam sampai kondisi pasien stabil. Konsul dokter tentang peningkatan tiba-tiba atau penurunan pada FJ, khususnya bila berkenaan dengan indikator kekurangan cairan, seperti disebutkan diatas.
4) Pantau indikator-indikator fisik dari kekurangan cairan; diaforesis, ekstremitas dingin, pelambatan pengisian kapiler dan tidak ada atau kurangnya nadi distal.
5) Bila pasien mempunyai bukti kekurangan volume atau kehilangan darah aktif, berikan cairan yang diprogramkan dengan cepat melalui satu atau lebih kateter IV berdiameter besar. Catatan : evaluasi kepatenan kateter IV dengan sering selama resusitasi volume cepat. Pantau pasien dengan ketat untuk menghindari kelebihan beban volume cairan dan komplikasi seperti gagal jantung dan edema pulmoner.
6) Ukur CVP setiap 1-4 jam bila diinginkan. Waspadai terhadap nilai-nilai rendah atau menurun. Laporkan penurunan CVP tiba-tiba, khususnya bila berkenaan dengan indikator lain dari kekurangan volume cairan, seperti diatas.
7) Ukur haluaran urine setiap 4 jam. Waspada terhadap penurunan haluaran urin dan sering berkemih. Pada pasien dengan trauma abdomen, haluaran urine rendah biasanya menunjukan ketidak adekuatan volume intra vaskular. Sebelum memberikan diuretik. Evaluasi pasien terhadap kekurangan volume cairan, seperti disebutkan diatas.
8) Perkirakan kehilangan darah terus menerus. Ukur semua drainase mengandung darah dari selang atau kateter, perhatikan warna drainase. Perhatikan frekuensi penggantian balutan karena saturasi dengan darah, untuk memperkirakan jumlah kehilangan darah melalui sisa luka. Konsul dokter tentang peningkatan bermakna pada jumlah drainase, khususnya bila berdarah.

2. Nyeri yang berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh darah intraperitonial atau sekresi, trauma aktual atau insisi bedah, dan manipulasi organ selama pembedahan.
 Hasil Yang Diharapkan
Dalam 4 jam penerimaan, persepsi subjektif pasien tentang nyeri menurun, dibuktikan dengan skala nyeri. Indikator subjektif, seperti meringis, tidak ada atau menurun.
 Intervesi Keperawatan
1) Evaluasi pasien terhadap nyeri praoperasi dan pascaoperasi. Gunakan skala nyeri dengan pasien, rentangkan ketidaknyamanan dari 0 sampai 10. nyeri praoperasi dapat diperkirakan dan merupakan alat bantu diagnostik vital. Lokasi dan kateter nyeri pascaoperasi juga penting. Nyeri insisi dan beberapa nyeri viseral diperkirakan, tetapi nyeri hebat atau lama, secara khusus bila disertai dengan tanda-tanda peritoneal lain, dapat menandakan perdarahan, infak usus, infeksi atau komplikasi lain. Kenali bahwa respon sistem saraf autonom (SSA) terhadap nyeri dapat merumitkan pengkajian cedera abdomen dan hipivolemia.
2) Berikan analgesik narkotik dan analgesik lainnya sesuai program. Jangan memberikan analgesik pada praoperasi sampai pasien telah dievaluasi secara seksama oleh ahli bedah trauma. Berikan analgesik pascaoperasi sesuai program pada jadwal kontinu atau reguler dengan segera, dengan tambahan analgesik sesuai kebutuhan, atau berikan pasien analgesia yang dikontrol pasien. Analgesik membantu menghilangkan nyeri dan membantu dalam proses pemulihan dengan peningkatan pengembangan ventilasi lebih besar. Waspada bahwa intoksikasi yang sering terlihat dalam peristiwa traumatik; karenannya, korban mungkin pengguna alkohol atau obat, dengan toleransi rata-rata lebih tinggi terhadap narkotik. Individu yang sama ini dapat menderita gejala-gejala putus alkohol atau narkotik yang harus dikenali dan diatasi. Selain itu kenali bahwa analgesik narkotik dapat mengurangi motilitas GI dan dapat memperlambat kembalinya fungsi usus normal. Dokumentasikan derajat penghilangan yang didapat, dengan menggunakan skala nyeri.
3) Pantau analgesik yang dikontrol pasien, bila diprogramkan, dan dokumentasikan keefektifannya, dengan menggunakan skala nyeri.
4) Tambahkan analgesik dengan metoda non-farmakologis (mis., perubahan posisi, gosokan punggung, distraksi)untuk membantu penghilangan nyeri.
3. Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer sekunder akibat gangguan saluran GI (terutama ileum terminal dan kolon) dan luka terbuka traumatik terinfeksi; berhubungan dengan kateter indwelling multipel dan selang lain; dan berhubungan dengan gangguan status imun karena kehilangan darah dan respons metabolik terhadap trauma.
 Hasil Yang Diharapkan
Pasien bebas infeksi, dibuktikan dengan suhu inti atau rektal <37,8ÂșC; FJ=100dpm; berorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang; dan tidak ada eritema, hangat, atau drainase pada insisi bedah atau sisi luka.
 Intervensi Keperawatan
1) Pantau TV terhadap bukti infeksi, perhatikan peningkatan suhu dan yang berkenaan dengan peningkatan FJ dan FP. Konsul dokter bedah tentang peningkatan suhu tiba-tiba.
2) Evaluasi orientasi dan tingkat kesadaran setiap 8 jam. Perhatikan konfusi atau penyimpangan dari tingkat kesadaran dasar.
3) Jamin kepatenan semua selang yang dipasang melalui pembedahan atau drain. Irigasi atau sambungkan pada penghisap tekanan rendah sesuai program. Dengan segera laporkan kehilangan yang tidak teratasi dari kepatenan selang.
4) Evaluasi insisi dan sisi luka terhadap bukti terinfeksi: eritema tidak biasanya, hnagat, pelambatan penyembuhan, drainase purulen atau tidak biasa.
5) Perhatikan jumlah, warna, karakter, dan bau semua drainase. Laporkan bau busuk atau drainase abnormal. Tes drainase dengan pH dan darah; bandingkan pada karakteristik yang diperkirakan.
6) Berikan anti biotik pada waktu yang tepat. Jadwalkan kembali antibiotik parenteral bila dosis terlambat lebih dari satu jam. Kenali bahwa kegagalan pada pemberian antibiotik pada jadwal dapat mengakibatkan ketidakadekuatan kadar darah dan kegagalan tindakan.
7) Bila dipesankan, berikan vaksin pnemukokal pada pasien dengan splenektomi total untuk meminimalkan resiko terhadap sepsis pascasplenektomi.
8) Berikan globulin imun tetanus dan toksoid tetanus sesuai program.
9) Ganti balutan sesuai program dengan menggunakan teknik aseptik. Cegah kontaminasi silang dari berbagai luka dengan mengganti satu balutan sekaligus.
10) Bila pasien mempunyai atau mengalami eviserasi, jangan pasang kembali tisu atau organ. Tempatkan kasa steril yang dibasahi dengan salin diatas eviserasi dan tutup dengan handuk steril sampai eveserasi dapat dievaluasi oleh dokter bedah.

4. Ketidak efektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan nyeri dari cedera atau insisi bedah ; iritasi kimia dari darah atau empedu pada jaringan pleural; dan peningkatan diafragmatik berkenaan dengan distensi abdomen.
 Hasil yang diharapkan
Dalam 24 jam penerimaan atau pembedahan, pasien eupnea, dengan FP 12-20 nafas/mnt dan bunyi nafas bersih.
 Intervensi keperawatan
1) Berikan suplemen oksigen sesuai program. Pantau dan dokumentasikan keefektifan.
2) Berikan analgesik pada dosis dan frekuensi yang menghilangkan nyeri dan berkenaan dengan kerusakan pengembangan dada.

5. Perubahan perfusi jaringan gastrointestinal (GI) yang berhubungan dengan terhentinya aliran darah pada vicera abdomen sekunder akibat gangguan atau okulasi vaskular, atau ynag berhubungan dengan hipovolemia sedang sampai berat yang disebabkan oleh hemoragi.
 Hasil yang diharapkan
Pasien mempunyai perfusi jaringan GI adekuat, dibuktikan dengan bising usus normoaktif; abdomen lunak dan tidak distensi; dan kembalinya eliminasi usus. Sekresi gastrik, drainase dan tes ekskresi negatif terhadap darah samar.
 Intervensi keperawatan
1) Auskultasi terhadap bising usus setiap jam pada pasien cedera baru dan setiap 8 jam selama fase pemulihan. Laporkan tidak adanya bising usus tiba-tiba atau lama, karena ini dapat menandakan iskemia usus atau infark. Antisipasi tidak adanya atau penurunan bising usus selama sampai 72 jam setelah pembedahan.
2) Evaluasi pasien terhadap tanda-tanda peritoneal, yang dapat terjadi secara akut sekunder akibat cedera atau tidak terjadi sampai beberapa hari atau beberapa minggu bila komplikasi terjadi karena perdarahan lambat atau mekanisme lain.
3) Jamin volume intramuskular adekuat.
4) Evaluasi data laboratorium terhadap bukti perdarahan atau iskemia organ.
5) Dokumentasikan jumlah dan karakter sekresi GI, drainase, dan ekskresi. Perhatikan perubahan yang menandakan perdarahan, infeksi atau obstruksi.

6. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan pemajanan terhadap drainase GI yang mengiritasi; dan kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan trauma langsung dan pembedahan, status pasca trauma katabolik dan perubahan sirkulasi.
 Hasil Yang Diharapkan
Pada saat pulang dari rumah sakit, pasien menunjukan penyembuhan luka dan kulit tetap bersih dan tidak robek .
 Intervensi Keperawatan
1) Ganti balutan dengan segera, drain atau fistula, perhatikan area ini bersih dan bebas drainase. Sekresi lambung dan usus dan drainase yang mengiritasi dan dapat menimbulkan ekskoriasi. Bila perlu, berikan sale, barier kulit, atau kantung drainase untuk melindungi sekitar kulit.
2) Berikan sokongan balutan yang dapat digunakan kembali untuk melindungi sekitar kulit. Konsul perawat ostomi untuk kasus rumit atau yang terlibat.
3) Ispeksi luka, fistula, dan sisi drein terhadap tanda-tanda iritasi, infeksi, dan iskemia.
4) Identifikasi jaringan terinfeksi dan kehilangan vitalitasnya. Bantu dalam pengangkatannya dengan irigasi, membungkus luka, atau menyiapkan pasien untuk debridemen pembedahan.
5) Jamin masukan protein dan kalori adekuat untuk penyembuhan kulit.

7. Perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan penurunan masukan sekunder akibat gangguan integritas saluran GI (traumatik atau pembedahan) dan peningkatan kebutuhan sekunder akibat status pasca trauma hipermetabolik.
 Hasil Yang Diharapkan
Pada minimun 24 jam sebelum pulang dari rumah sakit, pasien mempunyai nutrisi adekuat, dibuktikan dengan pemeliharaan berat badan dasar pasien dan status hidrogen positif atau seimbnag.
 Intervensi Keperawatan
1) Kolaborasi dengan dokter, ahli diet, dan ahli farmasi untuk memperkirakan kebutuhan metabolik pasien, berdasarkan pada tipe cedera, tingkat aktifitas, dan status nutrisi sebelum cedera.
2) Pertimbangan cedera spesifik pasien bila merncanakan nutrisi.
Misalnya,
Perkirakan pasien dengan cedera hepar atau pankreas mengalami kesulitan dalam regulasi gula darah, tetapi pemberian makanan dengan selang harus dipasang distal pada cedera; gangguan saluran GI dapat memerlukan pemberian makanan gastronomi atau jejunostomi; pasien dengan trauma hepatik mayor dapat mengalami kesulitan dalam toleransi protein.
3) Jamin kepatenan selang gastrik atau usus untuk mempertahankan dekompresi dan mendukung penyembuhan dan mengembalikan fungsi usus. Perhatikan penghisap, karena ini mengakibatkan oklusi vakum dari selang dan penghisapan berlebihan pada mukosa gastrik. Gunakan kewaspadaan bila mengirigasi selang NG atau selang lain yang ditempatkan pada atau dekat dengan organ yang baru dijahit.
4) Jangan mulai memberikan makanan sampai fungsi usus kembali.
5) Ketahui bahwa narkotik menurunkan motilitas GI, dan dapat memperberat mual, muntah, distensi abdomen, dan ileus. Pertimbangan pemberian suplemen analgesik non-narkotik yang diprogramkan.
8. Respon pasca trauma yang berhubungan dengan kecelakaan ynag mengancam hidup atau peristiwa yang mengakibatkan trauma.
 Hasil Yang Diharapkan
Pada minimum 24 jam sebelum pulang dari rumah sakit, pasien mengungkapkan bahwa dampak psikososial dari peristiwa telah hilang, dan ia tidak menunjukan tanda-tanda reaksi stress berat. Pasien bekerja sama dengan perencana tindakan. Catatan: beberapa korban trauma abdomen mayor berlanjut mengalami cedera yang mengancam hidup. Pasien sering sadar terhadap situasi dan rasa takut kematian. Bahkan setelah kondisi fisik stabil, pasien dapat mengalami reaksi lama atau berat yang dicetuskan oleh rekoleksi trauma.
 Intervensi Keperawatan
1) Evaluasi status mental pada interval sistematik. Waspada terhadap indikator-indikator reaksi stress berat, dan kegagalan bekerja sama dengan instruksi yang berhubungan dengan perawatan.
2) Konsul spesialis seperti psikolog, praktisi perawat psikiatrik, atau konselor pastoral bila pasien menunjukan tanda-tanda reaksi stress berat.
3) Perimbangkan penyebab organik yang dapat berperan pada respon pasca-traumatik.



DAFTAR PUSTAKA


John. A. Boswick., Ir., MD. 1997. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Mansjoer, Arif. DKK. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aescolapius

Swearingen. 1999. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Swearingens RN. 1987. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC




No comments:
Write komentar

Klik & Subscribe Ya..

Translate